Pendidikan dalam Perspektif Masyarakat Nias

Ada banyak dilema dikalangan mahasiswa yang baru saja menamatkan diri dari bangku perkuliahan. Tak heran bila dalam pemikiran banyak orang “sarjana belum tentu menjamin masa depan”. Memang benar demikian, dan ini sudah menjadi fenomena dalam masyarakat. Bukan sesuatu hal yang tabu apabila banyak lulusan yang masih saja nganggur.

Bagi mahasiswa/i yang telah selesai, mereka beranggapan “ngapain kuliah, kalau tidak bisa menjamin hidup”. Banyak sekali sarjana di luar sana tidak tau mau ngapain, dan harus menyodorkan lamaran kemana saja?

Jika kita kembali ke masa lampau, sarjana itu sudah menjadi hal yang istimewa di tengah-tengah masyarakat. Bagi masyarakat Nias, generasinya yang sudah bersekolah tinggi sangatlah dihargai di tengah-tengah masyarakat. Baik dalam menyampaikan pendapat maupun dalam mengambil keputusan. 

Tak bisa dipungkiri, betapa bangganya menjadi seorang sarjana di tengah masyarakat transisi seperti suku Nias yang jauh dari kemajuan ekonomi dan teknologi. Maka timbullah dalam persepsi masyarakat Nias bahwa, menjadi seorang sarjana merupakan langkah terbaik dalam menjaga kehormatan dan pengakuan oleh masyarakat. 

Pada abad ke-21 ini, kemanjuan dalam berbagai bidang sudah mulai mulai tersentuh. Adanya transportasi darat, laud an udara menjadikan semuanya begitu cepat. Ada banyak institusi pendidikan yang bisa menghasilkan sarjana dengan biaya terjangkau dan makin banyak perguruan tinggi swasta yang berdiri untuk bisa membantu anak-anak muda untuk bisa kuliah.

Ada banyak dampaknya, baik itu dampak positif maupun sebaliknya. Dampak positifnya ialah makin banyak lulusan sarjana yang bisa mewujudkan cita-citanya untuk membanggakan orangtua. Belum lagi, berpendidikan tinggi di masyarakat Nias merupakan hal yang langka dan sulit untuk diraih oleh khalayak banyak orang. 

Setelah semua beruhah seiring satu dekade terakhir, telah mebuktikan juga bahwa, ada begitu banyak penganggurandimana-mana, Banyak lulusan sarjana yang tidak punya pekerjaan. Tidak adanya lowongan pekerjaan dan juga sarana bagi para lulusan untuk bisa berkarya, menjadi polemik dalam masyarakat "apakah sarjana sudah tidak ada apa-apanya lagi"?

Mungkin juga di lain sisi, bukan hanya faktor dari luarnya saja, tapi dipengaruhi juga oleh internal setiap individu. Banyak juga mahasiswa lulusan sarjana yang tidak punya skill atau keterampilan yang cukup mumpuni baik dalam bidangnya maupun dalam pengembangan dirinya. 

Kemajuan teknologi juga mulai menggeser dunia kerja manusia. Mulai dari pekerjaan sehari-hari, banyak sekali pekerjaan yang sudah dipegang kendali oleh mesin maupun robot. Posisi manusia sebagai makhluk cerdas bisa saja tergeser. Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa manusia punya akal dan budi. Sebuah kemampuan istimewa yang telah dikaruniakan pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. 

Setinggi langit pun pendidikan sekarang sudah tidak ada gunanya lagi. Kembali pada masyarakat Nias, bagi mereka budi pekerti lebih utama. Ada istilah pada masyarakat Nias "Kheu-kheu sumangeu" artinya, wibawamu kembali pada kebijaksanaanmu. Berpikir, bertindak, bertingkah aku, bertutur kata adalah unsur paling penting untuk dimiliki. Orang berpendidikan belum tentu berbudi pekerti, sebaliknya orang yang berbudi pekerti sudah pasti orang cerdas.